Kitab tashrif - Setiap manusia pasti pernah merasakan musibah, bencana, atau penderitaan dalam hidupnya. Namun, bagaimana jika kita diajak untuk melihat musibah dari sudut pandang yang berbeda? Bukan sekadar ujian, tetapi juga sebagai bentuk nikmat dari Allah yang penuh dengan rahmat dan hikmah. Dalam perspektif Islam, musibah bukan hanya sekadar cobaan, melainkan juga bisa menjadi jalan menuju pembersihan dosa dan peningkatan derajat. Mari kita renungkan kata-kata bijak dari ulama besar, Ibnul Qoyyim rahimahullah, yang menerangkan bahwasanya musibah adalah bagian dari nikmat yang besar.
Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Miftah Daaris Sa’aadah menjelaskan bahwasanya Allah azza wa jalla meletakkan musibah, bencana, dan penderitaan sebagai rahmat bagi hamba-Nya. Musibah yang dialami oleh seseorang adalah kafarat atau tebusan atas kesalahan dan dosa-dosanya. Artinya, musibah yang terjadi bukan semata-mata sebagai hukuman, tetapi sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Dengan musibah itu, Allah membersihkan kesalahan dan dosa, serta memberikan kesempatan bagi hamba untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Seringkali, manusia tidak menyadari bahwa musibah yang menimpa mereka sebenarnya adalah salah satu bentuk nikmat terbesar. Ini karena sifat dasar manusia yang lebih cenderung mencintai hal-hal yang menyenangkan dan menghindari kesusahan. Namun, Allah memberikan musibah sebagai cara untuk menghapus dosa, menjadikan seseorang lebih sabar, lebih kuat, dan lebih bertawakal kepada-Nya.
Dalam sebuah hadis riwayat imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwasanya tidak ada seorang mukmin yang ditimpa rasa khawatir, sakit, penderitaan, bahkan sampai tertusuk duri kecil, kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan musibah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa setiap musibah yang dialami oleh seorang mukmin memiliki hikmah yang besar. Bukan hanya sebagai pembersih dosa, tetapi juga sebagai bentuk pengingat agar selalu bersyukur dan introspeksi diri.
Saat musibah datang, reaksi yang biasa muncul adalah kesedihan, kekecewaan, bahkan kemarahan. Namun, jika kita mampu melihat musibah sebagai bagian dari nikmat, maka sikap yang tepat adalah bersabar dan bersyukur. Seorang hamba tidak pernah tahu, mana di antara dua nikmat yang lebih besar: apakah nikmat Allah dalam hal-hal yang ia cintai, ataukah nikmat Allah dalam hal-hal yang ia benci?
Ibnul Qoyyim menekankan bahwa nikmat Allah bisa datang dalam dua bentuk:
Nikmat yang kita cintai, seperti kesehatan, kekayaan, dan kebahagiaan.
Nikmat yang kita benci, seperti musibah, penyakit, atau kesulitan.
Namun, kedua bentuk nikmat ini sama-sama memiliki manfaat yang besar bagi kita. Nikmat yang kita cintai mengajarkan kita untuk bersyukur, sedangkan nikmat yang kita benci—dalam bentuk musibah—mengajarkan kita untuk bersabar dan introspeksi diri.
Ibnul Qoyyim juga menegaskan bahwa setiap hukuman atas dosa yang terjadi di dunia lebih baik daripada di akhirat. Musibah yang datang sebelum kematian adalah cara Allah untuk memberikan keringanan dan memudahkan jalan hamba-Nya di hari pembalasan. Dengan demikian, musibah yang datang di dunia ini sebenarnya adalah bentuk kasih sayang Allah, agar kita tidak menerima hukuman yang lebih berat di akhirat kelak.
Dari penjelasan ini, kita dapat memahami bahwasanya musibah bukanlah semata-mata bentuk siksaan atau hukuman. Sebaliknya, musibah adalah bagian dari nikmat Allah yang membawa banyak hikmah dan kebaikan. Sebagai seorang mukmin, kita diajarkan untuk senantiasa bersabar dan bersyukur, baik ketika menerima nikmat yang kita cintai maupun nikmat yang kita benci dalam bentuk musibah. Karena pada akhirnya, setiap musibah yang datang adalah jalan menuju pembersihan dosa dan peningkatan derajat di sisi Allah azza wa jalla.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Toko grosir kitab online - kitab tashrif - fikar store