Arabiyah linnasyiin - Sesungguhnya akal adalah anugerah besar dari Allah ﷻ yang digunakan untuk memahami dan mengambil pelajaran dari wahyu-Nya. Namun, akal memiliki keterbatasan dan tidak boleh dijadikan standar utama dalam menentukan kebenaran. Islam telah menetapkan bahwa dalil dari Al-Qur’an dan Hadits adalah sumber utama kebenaran, sementara akal hanya sebatas sarana untuk memahaminya.
Orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (ahlul hawa) sering kali menjadikan akal dan perasaannya sebagai standar kebenaran. Jika suatu dalil sesuai dengan akalnya, maka ia terima, tetapi jika bertentangan, ia tolak atau ditakwil sesuai keinginannya. Sikap seperti ini menyimpang dari ajaran Islam yang benar, karena agama bukanlah berdasarkan akal dan perasaan, tetapi berdasarkan dalil yang shahih, karena jika standar utama adalah akal dan perasaan manusia maka manusia mana yang benar?. Maka jawabannya adalah manusia selamanya tidak akan mampu berdiri tegak di atas kebenaran tanpa adanya dalil, karena dalil menuntun akal bukan sebaliknya.
Sesungguhnya Agama Tidak didasari oleh Akal, Tetapi oleh Wahyu!
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa jika agama diukur dengan logika, bagian bawah sepatu lebih layak diusap daripada bagian atasnya. Namun, Rasulullah ﷺ mengusap bagian atas sepatu. Ini menunjukkan bahwa aturan agama tidak selalu dapat dijangkau oleh akal manusia, dan sebagai Muslim, kita harus patuh pada syariat tanpa mempertanyakan logikanya. (Abu Dawud)
Dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa jika seseorang mengikuti perasaannya atau pikirannya dalam beribadah, dia akan kehilangan agamanya karena hanya mengikuti hawa nafsunya. (Al-Liqa'us Syahry, no. 40)
Dalam beberapa perkara agama, aturan Allah mungkin tidak selalu dapat dijangkau oleh akal manusia. Namun, sebagai seorang Muslim, kita harus tunduk dan patuh kepada syariat tanpa mempertanyakan logika di baliknya. Karena selamanya otak manusia tidak akan mampu menjangkau kebenaran tanpa adanya tuntunan dari dalil
Maka jika seseorang lebih mengutamakan akal dan hawa nafsunya dibandingkan dalil, maka itulah sumber segala fitnah dan kesesatan.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata bahwa pangkal dari segala fitnah adalah mendahulukan pemikiran daripada syariat, dan mendahulukan hawa nafsu daripada akal.
Syaikh Al-Albani rahimahullah menegaskan bahwa agama bukan dengan akal atau perasaan, tetapi dengan mengikuti hukum-hukum Allah dalam kitab-Nya dan hukum-hukum Rasul-Nya dalam sunnah-Nya.
Jika akal sudah cukup untuk menentukan kebenaran, maka Allah tidak perlu menurunkan wahyu dan mengutus para rasul. Namun kenyataannya, Allah mengutus nabi dan menurunkan kitab sebagai petunjuk hidup.
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata bahwa seandainya akal itu sudah cukup, Allah tidak akan mengutus rasul-rasul-Nya dan tidak menurunkan kitab-kitab-Nya.
Maka sikap seorang Muslim yang benar adalah menundukkan akalnya di hadapan dalil, sebagaimana yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika mencium Hajar Aswad:
عَنْ عَابِسِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ عُمَرَ يُقَبِّلُ الْحَجَرَ وَيَقُولُ إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْكَ
"Dari ‘Abis bin Robi’ah rahimahullah, ia berkata, 'Aku pernah melihat Umar (bin Al Khattab) mencium Hajar Aswad. Lantas Umar berkata, ‘Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah ﷺ menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu.’"
(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun secara logika batu itu tidak memiliki manfaat, namun karena Rasulullah ﷺ telah mencontohkan, maka Umar radhiyallahu ‘anhu tetap mengikutinya tanpa mempertanyakan.
Allah ﷻ memperingatkan dalam Al-Qur’an tentang bahaya menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman hidup:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, serta Allah mengunci pendengaran dan hatinya dan meletakkan penutup pada penglihatannya?"
(QS. Al-Jatsiyah: 23).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini:
"Yakni sesungguhnya dia hanya diperintahkan oleh hawa nafsunya. Maka apa saja yang dipandang baik oleh hawa nafsunya, dia kerjakan; dan apa saja yang dipandang buruk oleh hawa nafsunya, dia tinggalkan."
(Tafsir Ibnu Katsir).
Ini adalah ciri khas orang yang sesat, yaitu mereka menjadikan akal dan hawa nafsunya sebagai standar kebenaran, bukan wahyu Allah dan sunnah Rasul-Nya.
Maka poin yang harus kita pahami adalah
Semoga kita termasuk hamba-hamba yang selalu menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidup, bukan hawa nafsu dan akal yang terbatas.
Allahu Ta’ala a’lam bish-shawab.
Kitab Bahasa Arab - Arabiyah linnasyiin – Fikar store