Fikar store - Toleransi adalah sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada di antara manusia, baik dalam hal agama, keyakinan, budaya, maupun pandangan hidup. Toleransi merupakan salah satu nilai yang diajarkan oleh agama Islam, yang mengajak umatnya untuk berlaku adil, baik, dan ramah terhadap sesama manusia, tanpa membeda-bedakan suku, bangsa, atau agama.
toleransi dalam Islam tidak berarti menyeragamkan atau menyamakan semua agama dan keyakinan hingga mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan yang jelas nyata, melainkan mengakui dan menghormati hak-hak orang lain untuk beragama dan berkeyakinan sesuai dengan pilihannya tanpa mengganggu dan tanpa mengolok-olok. Toleransi dalam Islam juga tidak berarti mengikuti atau menyetujui ajaran agama atau keyakinan lain yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam, melainkan menjaga identitas dan keutuhan Islam sebagai agama yang haq dan sempurna.
Salafusshalih adalah generasi terbaik umat Islam yang mengikuti jejak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung diawasi dan dididik dalam memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam. Mereka adalah orang-orang yang paling taat, paling zuhud, paling wara’, paling berilmu, paling berakhlak, dan paling berjihad di jalan Allah Ta’ala. Mereka adalah panutan dan teladan bagi umat Islam di setiap zaman dan tempat.
Toleransi para salafusshalih juga merealisasikan sikap toleransi yang tinggi terhadap orang-orang yang berbeda agama atau keyakinan dengan mereka, baik dalam hal hubungan sosial, politik, maupun dakwah. Berikut adalah beberapa contoh toleransi yang dilakukan oleh salafusshalih:
Para salafusshalih bersikap ramah, baik, dan adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi mereka karena agama kecuali ketika kaum muslimin diperangi dan tidak mengusir mereka dari negeri mereka. Mereka memberikan perlindungan, bantuan, dan kerjasama kepada mereka dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan Islam. Mereka juga menjaga hubungan baik dengan keluarga atau kerabat yang non muslim, memberi hadiah, dan berbuat baik kepada mereka.
Contoh toleransi dalam hubungan sosial ini dapat dilihat dari kisah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersikap baik kepada tetangganya yang Yahudi, yang sering mengganggunya dengan membuang sampah di depan rumahnya. Ketika suatu hari Nabi tidak melihat sampah di depan rumahnya, beliau menanyakan keadaan tetangganya tersebut dan mendengar bahwa ia sakit. Lalu, Nabi mengunjungi tetangganya yang sakit dan mengajaknya masuk Islam. Tetangga Nabi pun terharu dengan sikap baik Nabi dan memeluk Islam.
Contoh lain adalah kisah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu yang memberikan bantuan kepada seorang wanita Yahudi yang tua dan miskin, yang tinggal di pinggiran kota Madinah. Umar mengangkat kayu bakar untuknya, menyalakan api, dan memberinya makanan. Wanita Yahudi itu pun terkejut dan berkata, “Engkau adalah seorang raja yang baik, semoga Allah menjadikanmu raja yang adil.” Umar menjawab, “Aku bukan raja, aku hanyalah seorang hamba Allah yang diutus oleh raja (Nabi) untuk mengurus kepentingan rakyatnya.”
Para salafusshalih bersikap tegas, adil, dan bijaksana terhadap orang-orang yang memerangi mereka karena agama atau mengusir mereka dari negeri mereka. Mereka berperang melawan mereka untuk membela agama, tanah air, dan martabat mereka. Mereka juga menawarkan perdamaian kepada mereka jika mereka mau berhenti memerangi dan mengganggu umat Islam. Mereka juga memberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepada mereka sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
Contoh toleransi dalam hubungan politik ini dapat dilihat dari kisah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang menandatangani perjanjian Hudaibiyah dengan kaum musyrikin Quraisy, yang mengandung beberapa pasal yang merugikan umat Islam. Namun, Nabi bersabar dan menunjukkan kepercayaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang kemudian memberikan kemenangan dan kebaikan besar kepada umat Islam dari perjanjian tersebut.
Contoh lain adalah kisah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu yang memberikan perlindungan dan kebebasan beragama kepada orang-orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tinggal di bawah kekuasaan Islam. Umar radhiyallahu 'anhu menetapkan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara umat Islam dan Ahli Kitab, yang dikenal sebagai “Pakta Umar”. Pakta Umar mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban Ahli Kitab, seperti membayar jizyah (pajak perlindungan), tidak membangun gereja atau sinagoge baru, tidak menampilkan simbol-simbol agama mereka secara terang-terangan, tidak mengganggu umat Islam dalam ibadah mereka, dan lain-lain.
Para salafusshalih bersikap lembut, bijak, dan sabar terhadap orang-orang yang belum masuk Islam atau yang menyimpang dari ajaran Islam. Mereka menyampaikan dakwah kepada mereka dengan hikmah, maw’izhah hasanah, dan mujadalah bil-lati hiya ahsan (berbicara dengan cara yang baik, memberi nasihat yang baik, dan berdebat dengan cara yang baik). Mereka juga menghormati hak-hak orang lain untuk beragama dan berkeyakinan sesuai dengan pilihannya, tanpa memaksa atau mengancam mereka.
Contoh toleransi dalam hubungan dakwah ini dapat dilihat dari kisah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersikap lembut dan sabar kepada orang-orang yang menghina dan menyakiti beliau, seperti orang-orang Thaif yang melempari beliau dengan batu, atau orang-orang Mekah yang mencela beliau dengan sebutan “majnun” (gila) atau “sahir” (penyihir). Nabi tidak membalas kejahatan mereka dengan kejahatan, melainkan memaafkan mereka dan berdoa agar Allah memberi hidayah kepada mereka.
Contoh lain adalah kisah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu yang bersikap bijak dan lembut kepada seorang Yahudi yang mencuri perisai miliknya. Ali menemukan perisainya di tangan Yahudi tersebut dan membawanya ke pengadilan. Yahudi itu mengaku bahwa perisai itu miliknya. Hakim pun memutuskan bahwa perisai itu milik Yahudi itu, karena tidak ada saksi yang membuktikan sebaliknya. Ali menerima putusan hakim dengan ikhlas dan tidak marah. Lalu, ia menawarkan perisai itu kepada Yahudi itu sebagai hadiah. Yahudi itu pun terkesima dan berkata, “Engkau adalah seorang pemimpin yang adil, semoga Allah menjadikanmu pemimpin yang bijaksana.” Yahudi itu pun masuk Islam dan mengembalikan perisai itu kepada Ali.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)
Allah ta’ala mengajarkan kita bahwa kita boleh bahkan dianjurkan berbuat baik kepada orang yang tidak beriman kepada-Nya selama tidak menolong dalam hal kemaksiatan dan perkara agama mereka. Kitapun sebagai seorang muslim tetap menjalin hubungan kekerabatan kepada mereka bahkan memberikan hadiah selama tidak ada sangkut pautnya dengan agama mereka.
Islam menanamkan sikap toleran kepada kita dengan menghormati ibadah dan perayaan orang-orang non muslim, bukan ikut serta atau mengucapkan selamat. Kemudian prinsip pokok toleransi telah disebutkan dalam ayat berikut:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6).
Prinsip tersebut juga disampaikan dalam ayat lain,
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (QS. Al Isra’: 84)
أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)
لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash: 55)
Dalam perkara toleransi, kita tetap mengedepankan identitas pribadi seorang muslim, yaitu ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagimu agamamu”, tanpa mengolok-olok dan tanpa mengganggu apa yang mereka anut. Kitapun berlepas diri darinya (dalam perkara agama mereka). Sedangkan untuk kita adalah apa yang kita pilih dan dipertahankan. Dan tidak akan pernah meninggalkan agama ini selamanya seumur hidup, ini adalah pilihan. Karena kita yakin agama ini adalah yang paling benar dan diridhai di sisi Allah ta’ala. Seperti inilah pola pikir dalam bertoleransi dalam perkara agama.
Semoga bermanfaat, semoga kita selalu berada diatas kebenaran yang Allah ta’ala ridhai. Dan semoga kita selalu tegak diatas agama islam yang hak ini. Aamiin. Fikar store