Nahwu Wadhih - Dalam agama Islam, terdapat tingkatan-tingkatan bagi kaum muslimin. Tingkatan pertama adalah seorang muslim, tingkatan kedua adalah seorang mukmin, dan tingkatan tertinggi adalah seorang muhsin. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang mahsyur, yang dikenal dengan sebutan hadits Jibril.
Tidak semua muslim bisa mencapai derajat mukmin, begitu pula tidak semua mukmin bisa mencapai derajat muhsin. Sedangkan Muhsin adalah sebutan bagi seorang muslim mukmin yang melakukan Al-Ihsan. Ketika malaikat Jibril bertanya kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam
فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِحْسَانِ، قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Kabarkanlah kepadaku tentang ihsan itu?” Beliau menjawab: “Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim 1/37 no. 8)
Derajat Ihsan
Derajat ihsan adalah derajat tertinggi di atas muslim dan mukmin. Sebagai seorang muslim hendaknya berusaha untuk mengamalkan amalan agar mendapatkan kedudukan yang tertinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang pertama adalah beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah. Maksudnya adalah meyakini bahwa Allah benar-benar melihat dan mengawasinya, Allah hadir di hadapannya dan berbincang dengannya ketika shalat. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ
“Jika seseorang dari kalian berdiri shalat sesungguhnya dia sedang berhadapan dengan Rabbnya.” (HR. Bukhari 1/901 no. 405)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mengatakan,
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ فِي الصَّلاَةِ فَإِنَّ اللَّهَ قِبَلَ وَجْهِهِ
“Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berdiri untuk shalat, maka dia sedang berhadapan dengan Allah.” (HR. Bukhari 1/151 no. 753)
Kita harus meyakini bahwasanya Allah selalu memperhatikan dan mengawasi kita, dan bahwasanya Allah itu dekat.
Ketika seseorang yakin bahwa Allah itu selalu dekat dan selalu mengawasi dan memperhatikannya, keyakinan itu akan memberikan perubahan dalam kehidupannya, dari segi ibadahnya, hingga sikapnya. Jika seseorang tidak mampu meyakini hal ini, maka hendaknya dia kembali kepada syarat kedua, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat, mengawasi dan memperhatikannya di mana pun dia berada.
Hendaknya kita membaca ayat yang menjelaskan tentang Maha Luas dan detilnya Ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mewujudkan keyakinan bahwasanya Allah benar-benar memperhatikan kita, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Maha halus, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14)
Kita semua adalah makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka tentu Allah tahu persis tentang apa yang kita lakukan.
Sesungguhnya ilmu Allah ituMaha Luas
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا
“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya.” (QS. Al-An’am: 59)
Bayangkan berapa banyak jumlah daun yang ada di atas muka bumi ini, dan setiap daun yang gugur diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka jika setiap daun yang gugur diketahui oleh Allah, bagaimana lagi dengan manusia yang dibebani untuk beribadah kepada Allah? Tentunya Allah juga mengetahuinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
كَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 60)
Kalau sekiranya hewan melata yang tidak akan dihisab oleh Allah juga diperhatikan dan ditanggung rezekinya, maka bagaimana lagi dengan manusia?
Sesungguhnya Allah maha teliti
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَفَمَنْ هُوَ قَائِمٌ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ قُلْ سَمُّوهُمْ أَمْ تُنَبِّئُونَهُ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي الْأَرْضِ أَمْ بِظَاهِرٍ مِنَ الْقَوْلِ بَلْ زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مَكْرُهُمْ وَصُدُّوا عَنِ السَّبِيلِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap jiwa terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang lain)? Mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah. Katakanlah, ‘Sebutkanlah sifat-sifat mereka itu.’ Atau apakah kamu hendak memberitahukan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di bumi, atau (mengatakan tentang hal itu) sekedar perkataan pada lahirnya saja. Sebenarnya bagi orang kafir, tipu daya mereka itu dijadikan terasa indah, dan mereka dihalangi dari jalan (yang benar). Dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun yang memberi petunjuk baginya.” (QS. Ar-Ra’d: 33)
Dari ayat diatas kita mengetahui bahwasanya Allah mengurus setiap jiwa sangatlah detail. Allah maha mengetahui dan menguasai atas segala sesuatu.
Ketika kita telah memiliki keyakinan atau perasaan bahwa Allah sedang memperhatikan diri kita, mengawasi kita, mencatat perbuatan kita, Allah sedang mengurus diri kita, maka kita akan yakin bahwa Allah Maha Dekat dengan diri kita. Sehingga dari situlah timbul sikap Al-Ihsan, sehingga kita beribadah kepada Allah dengan keyakinan bahwa kita berhadapan langsung dengan Allah, atau minimal kita yakin bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang kita lakukan. Sehingga ketika seseorang mencapai derajat ihsan maka secara otomatis akan hadir keikhlasan dan ketauhidan seseorang dalam hatinya setiap saat setiap waktu dan akan patuh tunduk di hadapan hujjah (kebenaran) yang tersampaikan kepadanya.
Kitab Nahwu Wadhih - Fikar Store