ilmu musthalah hadist - Hanya karena salah seorang mendalilkan bahwa suatu perbuatan itu adalah wajib, sunnah, makruh, bahkan haram menurut hadis, kadang kala masyarakat kita latah mengikutinya tanpa menelusuri kembali asal-muasal hadis tersebut (taqlīd). Celakanya lagi hadis-hadis tersebut terkesan indah untuk didengar dan diucapkan, masuk akal, dan mudah dicerna.
Tentu pernah di antara pembaca mendengar atau mengerti beberapa hadis yang akrab ini. Semisal, “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”, “Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat”, “Rajab adalah Bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku (Nabi Muhammad), dan Ramadhan adalah bulan ummatku”, “Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia telah mengetahui Tuhannya”, dan atau “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Padahal keseluruhan hadis tersebut tidaklah dapat dijadikan dalil sama sekali.
Sebagaimana dikutip dari buku ilmu musthalah hadist “Taisīru Muṣṭalah al-Hadīṣ” karangan Mahmud Thahan, pada dasarnya tidak semua jenis hadis dapat diterima dan dijadikan dalil dalam ibadah – baik yang mahdhah ataupun ghairu mahdhah. Golongan hadis yang dapat dijadikan dalil adalah hadis shahīh lidzātihi, shahīh lighairihi, hasan lidzātihi, dan hasan lighairihi. Sebaliknya, golongan hadis yang tidak dapat diterima digolongkan sebagai hadis dha’īf oleh sebagaian ulama’ – termasuk di antaranya adalah Mahmud Thahan.
Beberapa contoh hadis akrab yang tidak dapat dijadikan dalil di atas, pada dasarnya merupakan hadis dha’īf dengan dua tipikal permasalahan, yakni transmisi periayatannya yang gugur ataupun periwayatnya yang cacat. Tipikal permasalahan yang pertama, berarti bahwa manakala hadis tersebut diriwayatkan, terdapat sekurang-kurangnya satu mata rantai periwayat yang terputus. Artinya, terdapat generasi yang hilang dalam periwayatan hadis tersebut. Adapun dari segi periwayatnya yang cacat, maksudnya adalah sang periwayat bukanlah orang yang adil, pendusta, kurang akal, hafalannya tidak kuat, dan kecerdasannya diragukan. ilmu musthalah hadist
Perihal ke- dha’īf-an suatu hadis, terdapat silang pendapat yang menarik untuk diperhatikan, dua di antaranya adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ (NU). Muhammadiyah beranggapan bahwa yang dapat dijadikan tuntunan dalam melaksanakan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah hanyalah sunnah al-shahihah – atau yang kini diubah penyebutannya sebagai sunnah al-Maqbullah, yakni hadis shahīh lidzātihi, shahīh lighairihi, hasan lidzātihi, dan hasan lighairihi.
Berbeda dengan Muhammadiyah, NU menyatakan secara tegas bahwa sesungguhnya hadis dha’īf bukan merupakan hadis palsu (mauḍū’) yang dengannya dapat ditolak penggunaannya begitu saja. Hanya karena beberapa permasalahan teknis – seperti misalnya kekuatan hafalan, terputusnya sanad, dan lain sebagainya, tidaklah elok bagi umat Islam untuk mengabaikan keutamaan-keutamaan pengamalan hadis dha’īf tersebut. Kendati demikian, tidak semua hadis dha’īf oleh NU juga diterima begitu saja, namun terdapat beberapa ketentuan:
Begitulah kiranya beberapa kriteria hadis yang dapat dijadikan patokan untuk beribadah dalam kehidupan sehari-hari. Setelah menentukan metodologi (manhaj) mana yang paling tepat dengan keyakinan kita, maka dapatlah dipilah dan dipilih penerimaan akan suatu hadis. Pentingnya pemahaman atas ilmu hadis yang termasuk dalam kajian ilmu musthalah hadisṭ, mengisyaratkan kita untuk senantiasa mempelajarinya. Milikilah salah satu karya ilmu musthalah hadist ̣ terbaik karangan Mahmud Thahan dengan meng-klik link di bawah ini