Sinkretisme Dibalut Toleransi
Kitab tashrif - Di era modern ini, toleransi sering kali diartikan secara keliru, bahkan terkadang keluar dari batasan yang ditetapkan oleh syariat Islam. Toleransi yang benar tidak berarti mengorbankan prinsip agama atau mencampurkan keyakinan (sinkretisme) dalam bentuk apa pun. Sebagai umat Islam, kita perlu memahami batasan toleransi agar tidak terjerumus dalam kekeliruan yang dapat merusak akidah kita.
Dalam sejarah Islam, toleransi yang mengarah pada sinkretisme pernah dinegosiasikan orang-orang musyrik kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menawarkan untuk bergantian dalam menyembah: Rasulullah diminta untuk menyembah berhala-berhala mereka selama satu tahun, dan sebagai gantinya mereka akan menyembah Allah di tahun berikutnya. Namun, Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan Rasul-Nya untuk menolak tawaran ini dengan tegas:
لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
"Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah." (QS. Al-Kafirun: 2)
Ayat ini menjadi bukti bahwa tidak ada kompromi dalam hal akidah. Ketegasan ini mengajarkan kita bahwa sinkretisme—mencampur adukkan keyakinan—bukanlah bentuk toleransi yang benar dalam Islam. Toleransi tidak boleh mengarah pada pengaburan perbedaan antara keyakinan dan ibadah.
Di masa kini, banyak praktik yang dianggap sebagai bentuk toleransi, namun sejatinya keluar dari batas yang ditetapkan oleh syariat. Beberapa contohnya adalah mengizinkan orang non-Muslim untuk beribadah di masjid, atau sebaliknya, mengajak umat Islam untuk menghadiri ibadah di rumah ibadah agama lain. Praktik seperti Al-Qur'an dibacakan di gereja atau injil dibacakan di masjid, serta penggunaan salam lintas agama, dapat menimbulkan kesalahpahaman dan membaurkan ajaran agama yang berbeda, sehingga terjebak dalam sinkretisme.
Selain itu, kebiasaan mengucapkan selamat hari raya kepada non-Muslim atau mengikuti perayaan mereka juga sering kali dianggap sebagai bentuk toleransi. Namun, hal ini bertentangan dengan prinsip menjaga jati diri sebagai seorang Muslim dan menjaga kemurnian akidah kita. Toleransi tidak berarti ikut merayakan keyakinan orang lain, melainkan memberikan kebebasan kepada mereka untuk menjalankan keyakinannya tanpa ikut larut dalam ritual tersebut.
Islam mengajarkan toleransi dalam bentuk sikap yang baik dan penuh adab terhadap sesama manusia, termasuk kepada non-Muslim. Islam menganjurkan umatnya untuk berbuat baik, memberikan perlindungan, dan tidak mengganggu keyakinan atau ibadah orang lain, selama mereka tidak memusuhi Islam dan kaum Muslimin.
Allah Ta'ala berfirman:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Ayat ini menjelaskan bahwa toleransi yang benar adalah berbuat baik kepada non-Muslim yang hidup berdampingan secara damai dengan kita, namun tidak dengan cara mencampurkan keyakinan dan ritual ibadah.
Ironisnya, ada sebagian umat Islam yang mengaku paling toleran terhadap non-Muslim, namun malah berlaku keras terhadap saudara seiman hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah fiqih yang bersifat ijtihadiyah. Mereka mengkritik dan menzalimi saudara seiman yang berbeda pandangan bahkan tidak segan-segan menuduhnya dengan kata “wahabi” hingga membongkar masjid yang telah dibangun dengan alasan “sesat dan musuh islam”, seakan-akan mereka paling benar padahal mereka jahil (tidak paham ilmu agamanya) dan lupa bahwasanya Islam sangat menganjurkan ukhuwah dan persaudaraan di antara kaum Muslimin.
Toleransi yang benar seharusnya dimulai dari memperlakukan saudara seiman dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, serta memahami perbedaan pendapat dalam perkara cabang agama (furu’) sebagai rahmat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, dia tidak boleh menzalimi, tidak boleh menyerahkan saudaranya (kepada musuh), tidak boleh berdustah, dan tidak boleh menghinakannya." (HR. Muslim)
Toleransi dalam Islam bukan berarti mengorbankan keyakinan atau mengikuti langkah-langkah non-Muslim dalam peribadatan mereka. Toleransi adalah berbuat baik kepada siapa pun tanpa melanggar batasan syariat. Penting bagi kita untuk menjaga identitas dan jati diri sebagai Muslim, serta tidak terjerumus dalam sinkretisme yang dapat merusak akidah. Dan janganlah sikap sinkretisme dibungkus dengan kata toleransi dan janganlah bertasyabuh terhadap kaum kuffar.
Semoga Allah Ta'ala memberikan kita pemahaman yang benar tentang toleransi, sehingga kita dapat bersikap bijak dalam berinteraksi dengan orang lain tanpa mengorbankan prinsip-prinsip agama yang telah ditetapkan. Aamiin.
Toko grosir kitab online - kitab tashrif - fikar store