Nahwu Wadhih - Hidup kita adalah perjalanan panjang menuju penghambaan yang sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun, perjalanan ini seringkali terhalang oleh penyakit hati seperti riya’ (pamer) dan ujub (berbangga diri). Dua penyakit ini dapat merusak amal ibadah dan membawa kehancuran di dunia serta akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada tiga perkara yang membinasakan: sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang selalu diperturutkan, dan sikap ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.”
(HR. Al-Bazzar, dihasankan oleh syaikh Al-Albani)
Maka, jadikan diri kita masing-masing agar menjadi seorang yang ikhlas. Keikhlasan merupakan inti dari ayat “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mu kami beribadah). Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa kalimat ini mengandung makna pemurnian ibadah, yaitu mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah semata, tanpa tercampur oleh syirik dalam bentuk apapun (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 40)
Orang yang ikhlas merasa ringan dalam menjalankan ketaatan, meskipun sulit di mata manusia, dan mampu menghindari maksiat karena takut akan hukuman Allah azza wa jalla. Ilmu merupakan cahaya yang membimbing hamba menuju Allah, tetapi niat yang salah dalam menuntut ilmu dapat menjadi bencana. Imam Ibnu Jama'ah rahimahullah menegaskan bahwa pujian atas ilmu hanya berlaku bagi mereka yang mengamalkan ilmunya dengan baik dan meniatkannya untuk meraih ridha Allah, bukan untuk kedudukan, harta, atau popularitas. Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah menambahkan bahwa menimba ilmu adalah bentuk ibadah, dan ibadah tidak diterima kecuali dengan keikhlasan kepada Allah, sehingga seorang penimba ilmu harus senantiasa memperbaiki niatnya.
Sabar adalah pilar keimanan, seperti kepala bagi tubuh. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata bahwa tidak ada iman bagi yang tidak memiliki kesabaran (HR. Al-Baihaqi). Allah juga berfirman dalam QS. Az-Zumar ayat 10 bahwa sesungguhnya akan disempurnakan pahala bagi orang-orang yang sabar tanpa perhitungan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengibaratkan kedudukan sabar dalam iman seperti kepala bagi tubuh; jika kepala terpotong, maka tubuh tidak lagi bernyawa (Al-Fawa’id, hlm. 95).
Sesungguhnya, Allah subhanahu wa ta’alamemberikan perumpamaan dalam Al-Qur’an:
أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ
تُؤۡتِیۤ أُكُلَهَا كُلَّ حِینِۭ بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ وَیَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ یَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan suatu perumpamaan tentang suatu kalimat yang baik seperti sebuah pohon yang baik, yang pokoknya kokoh dan cabang-cabangnya menjulang di langit. Ia memberikan buah-buahnya pada setiap muslim dengan izin Rabbnya. Dan Allah memberikan perumpamaan-perumpamaan bagi manusia mudah-mudahan mereka mau mengambil pelajaran.” (QS. Ibrahim: 24-25)
Keikhlasan adalah akar yang kokoh dalam pohon amal, sedangkan amal kebaikan adalah cabang-cabangnya yang menjulang tinggi. Tanpa keikhlasan, amal kita tidak akan membuahkan pahala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum dia ditanya tentang lima perkara: umurnya, untuk apa dihabiskan; masa mudanya, untuk apa digunakan; hartanya, dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan; dan ilmunya, apa yang diamalkan dengannya.”
(HR. Tirmidzi no. 2416, disahihkan Al-Albani)
Mari kita gunakan waktu untuk memperbaiki penghambaan kepada Allah, menjaga keikhlasan, menjauhi riya’ dan ujub, serta memperbanyak amal yang diridhai-Nya. Hanya dengan itu, kita dapat selamat di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Toko grosir kitab online - Nahwu Wadhih - Fikar Store