My Blog

  • 09-09-2024

Mengakui Kesalahan Yang Telah Diperbuat Juga Merupakan Keberanian

Al-arabiyah linnasyiin -  Keberanian sering kali diidentikkan dengan kemampuan seseorang untuk menghadapi bahaya, tantangan, dan ketakutan. Gelar "berani" sering disematkan pada mereka yang teguh dan percaya diri dalam menghadapi musuh atau rintangan. Namun, ada bentuk keberanian yang sering kali diabaikan dan bahkan lebih sulit dilakukan, yaitu keberanian untuk mengakui kesalahan dan kembali pada kebenaran. 

Tidak semua orang memiliki keberanian untuk berkata, “Saya salah.” Mengakui kesalahan memerlukan jiwa besar, terlebih dalam suasana yang dipenuhi gengsi dan harga diri. Bagi sebagian orang, kata-kata sederhana seperti “Maaf, saya keliru” terasa begitu berat karena takut merusak citra diri. Padahal, mengakui kesalahan justru merupakan cerminan dari kebesaran hati dan kekuatan jiwa. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah contoh sempurna dari pribadi yang berani dalam segala hal, termasuk keberanian dalam mengakui kekeliruan. Suatu ketika, Rasulullah memberikan saran kepada penduduk Madinah untuk berhenti mengawinkan pohon kurma mereka, sebuah praktik yang biasa mereka lakukan untuk meningkatkan hasil panen. Namun, setelah mengikuti saran beliau, hasil panen mereka justru menurun. Dalam sebuah riwayat yang panjang, 

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ الثَّقَفِيُّ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ وَتَقَارَبَا فِي اللَّفْظِ وَهَذَا حَدِيثُ قُتَيْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ مُوسَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ مَرَرْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْمٍ عَلَى رُءُوسِ النَّخْلِ فَقَالَ مَا يَصْنَعُ هَؤُلَاءِ فَقَالُوا يُلَقِّحُونَهُ يَجْعَلُونَ الذَّكَرَ فِي الْأُنْثَى فَيَلْقَحُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَظُنُّ يُغْنِي ذَلِكَ شَيْئًا قَالَ فَأُخْبِرُوا بِذَلِكَ فَتَرَكُوهُ فَأُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ فَقَالَ إِنْ كَانَ يَنْفَعُهُمْ ذَلِكَ فَلْيَصْنَعُوهُ فَإِنِّي إِنَّمَا ظَنَنْتُ ظَنًّا فَلَا تُؤَاخِذُونِي بِالظَّنِّ وَلَكِنْ إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنْ اللَّهِ شَيْئًا فَخُذُوا بِهِ فَإِنِّي لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ 

Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id Ats Tsaqafi] dan [Abu Kamil Al Jahdari] lafazh keduanya tidak jauh berbeda, dan ini adalah Hadits Qutaibah dia berkata; Telah menceritakan kepada kami [Abu 'Awanah] dari [Simak] dari [Musa bin Thalhah] dari [Bapaknya] dia berkata; "Saya bersama Rasulullah pernah berjalan melewati orang-orang yang sedang berada di pucuk pohon kurma. Tak lama kemudian beliau bertanya: 'Apa yang dilakukan orang-orang itu? '" Para sahabat menjawab; 'Mereka sedang mengawinkan pohon kurma dengan meletakkan benang sari pada putik agar lekas berbuah.' Maka Rasulullah pun bersabda: 'Aku kira perbuatan mereka itu tidak ada gunanya.' Thalhah berkata; 'Kemudian mereka diberitahukan tentang sabda Rasulullah itu. Lalu mereka tidak mengawinkan pohon kurma.' Selang beberapa hari kemudian, Rasulullah diberitahu bahwa pohon kurma yang dahulu tidak dikawinkan itu tidak berbuah lagi. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Jika okulasi (perkawinan) pohon kurma itu berguna bagi mereka, maka hendaklah mereka terus melanjutkannya. Sebenarnya aku hanya berpendapat secara pribadi. Oleh karena itu, janganlah menyalahkanku karena adanya pendapat pribadiku. Tetapi, jika aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu dari Allah, maka hendaklah kalian menerimanya. Karena, aku tidak pernah mendustakan Allah. (HR Muslim 4356) 

Dari sini, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya bahwasanya dalam urusan duniawi, manusia bisa saja salah. Rasulullah dengan rendah hati mengakui bahwa dalam hal ini beliau hanya berpendapat secara pribadi. Inilah bentuk keberanian yang sangat luhur, di mana beliau tidak merasa malu untuk mengoreksi diri. 

Contoh lainnya datang dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, seorang sahabat yang terkenal dengan keberaniannya. Dalam sebuah kesempatan, Umar berpidato di hadapan umat Islam tentang pembatasan mahar agar tidak melebihi jumlah tertentu. Namun, setelah mendengar protes dari seorang perempuan Quraisy yang mengutip ayat Al-Qur'an sebagai bantahan, Umar langsung beristighfar dan mengakui kekeliruannya. Dengan penuh rendah hati, beliau kembali naik ke mimbar dan mencabut pernyataannya: 

“Wahai sekalian manusia, aku telah melarang kalian dari memberikan mahar perempuan lebih dari empat ratus dirham. Maka barangsiapa berkehendak memberikan dari hartanya apa yang dia suka, maka lakukanlah.” (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. An-Nisa': 20) 

Keberanian Umar untuk menerima kritik dan mengoreksi dirinya di depan umum menunjukkan betapa besar jiwa seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. 

Dalam kehidupan kita, kesalahan adalah hal yang tidak dapat dihindari. Kita bisa keliru dalam berbagai hal, dalam hubungan dengan sesama, dalam keputusan, bahkan dalam pemahaman kita tentang sesuatu. Namun, yang terpenting bukanlah kesalahan itu sendiri, melainkan bagaimana kita menyikapinya, apakah kita mau mengakui kesalahan ataukah tidak. 

Mengakui kesalahan dan kembali pada kebenaran bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda keberanian sejati. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat, keberanian untuk mengakui kekeliruan tidak akan merendahkan martabat kita. Justru, itu akan menambah kemuliaan dan membawa kita lebih dekat kepada Allah. 

Sikap ini mencerminkan kebesaran jiwa, kerendahan hati, dan keteguhan iman. Dengan berani mengakui kesalahan, kita membuka jalan bagi perbaikan diri, baik di dunia maupun di akhirat. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala senantiasa memberikan kita kekuatan untuk menjadi pribadi yang berani mengakui kesalahan dan senantiasa kembali kepada kebenaran. 

Wallahu a'lam bishawab. 

Kitab Bahasa Arab - Arabiyah linnasyiin – Fikar store   

admin
Admin