Nahwu Wadhih - Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu pasti berhadapan dengan berbagai situasi yang penuh kebaikan dan keburukan. Salah satu perintah yang jelas dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah perintah untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Hal ini tertuang dalam sabda beliau shalallahu alaihi wa sallam,
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ : ❲ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ؛ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ ❳ .❊ رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, ia bertutur, "Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman'." (HR. Muslim)
Hadits ini mengandung prinsip penting mengenai amar ma’ruf nahi mungkar, yaitu upaya untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran yang terjadi di sekitar kita. Mari kita renungkan lebih jauh apa yang diajarkan dalam hadits ini.
Cara pertama yang disebutkan dalam hadits adalah mengubah kemungkaran dengan tangan. Ini berarti kita diajarkan untuk melakukan tindakan nyata ketika melihat suatu kemungkaran, tentunya sesuai dengan kemampuan dan otoritas yang kita miliki. Mengubah kemungkaran dengan tangan bisa berarti mengambil tindakan fisik untuk menghentikan hal-hal yang salah, seperti melarang seseorang yang melakukan tindakan yang merugikan atau membahayakan.
Namun, mengubah dengan tangan tidak selalu bisa dilakukan oleh semua orang. Tindakan ini biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau otoritas untuk melakukannya, seperti aparat penegak hukum, orang tua kepada anak-anaknya, atau atasan kepada bawahan. Selain itu, tindakan ini harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak menyebabkan kerusakan yang lebih besar. Dalam situasi tertentu, jika kita menindak suatu kemungkaran dengan tangan tetapi hasilnya justru menimbulkan lebih banyak kemudaratan, maka sebaiknya tidak dilakukan.
Sebagai contoh, dalam kehidupan keluarga, orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan dan menegur anak-anaknya jika melakukan kesalahan. Mereka bisa langsung menghentikan tindakan buruk anak-anak dengan memberikan nasihat atau bahkan tindakan disiplin yang wajar.
Jika tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan, Rasulullah memberikan alternatif lain, yaitu mengubah kemungkaran dengan lisan. Ini artinya kita bisa memberikan nasihat, teguran, atau ajakan agar seseorang meninggalkan perbuatan buruk. Menegur dengan lisan dapat lebih efektif jika disampaikan dengan tutur kata yang baik dan cara yang penuh kelembutan.
Menegur dengan lisan bukan sekadar mengeluarkan kata-kata, tetapi juga membutuhkan hikmah dalam memilih kata dan waktu yang tepat. Ada kisah yang sangat menarik tentang bagaimana sekelompok pemuda gagal memberikan nasihat karena cara mereka kasar dan tidak menghargai perasaan orang yang dinasihati. Sebaliknya, seorang ulama yang datang dengan cara lembut berhasil mengajak orang tersebut untuk mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menggunakan pendekatan yang baik dalam berdakwah, terutama saat menyampaikan sesuatu yang sensitif.
Kita juga harus peka terhadap situasi dan kondisi. Jika seseorang melihat bahwa berbicara dengan lisan malah akan menimbulkan konflik yang lebih besar atau berujung pada kemudaratan yang serius, maka menahan diri dan memilih cara lain mungkin lebih bijaksana.
Jika seseorang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan atau dengan lisan, maka pilihan terakhir yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam adalah mengingkarinya dalam hati. Ini adalah bentuk penolakan terhadap kemungkaran dengan cara yang paling sederhana, yaitu merasa tidak suka dan berusaha menjauh dari kemaksiatan tersebut. Rasulullah menyebutkan bahwa ini adalah selemah-lemahnya iman, tetapi tetaplah bagian dari keimanan.
Mengubah dengan hati juga memiliki konsekuensi, yaitu berusaha menjauhi atau meninggalkan tempat terjadinya kemungkaran. Misalnya, jika kita berada dalam suatu situasi di mana kemungkaran sedang terjadi, dan kita tidak memiliki kemampuan untuk menghentikannya dengan tangan atau lisan, maka meninggalkan tempat tersebut adalah salah satu bentuk nyata dari mengingkari dengan hati. Hal ini penting agar kita tidak terlibat atau terlihat seolah-olah meridhai perbuatan buruk tersebut.
Dalam situasi seperti ini, penting bagi kita untuk menjaga hati agar tidak cenderung pada keburukan yang sedang terjadi, serta tetap berdoa agar orang-orang yang terlibat dalam kemungkaran tersebut mendapatkan hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam amar ma’ruf nahi mungkar, pendekatan yang kita pilih harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Mengubah dengan tangan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas dan kemampuan untuk melakukannya, dan itu pun harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan hati-hati. Menggunakan lisan harus dilakukan dengan cara yang lembut dan bijaksana agar tidak menimbulkan reaksi negatif dari orang yang dinasihati. Sementara itu, jika kedua cara tersebut tidak mungkin dilakukan, maka menolak kemungkaran dengan hati adalah pilihan terakhir.
Kemudian kita juga harus memahami bahwasanya setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam menghadapi kemungkaran. Tidak semua orang memiliki kekuatan fisik atau kemampuan retorika dan ilmu yang cukup untuk melaksanakan perintah ini. Oleh karena itu, Islam memberikan kelonggaran bagi kita untuk melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Kisah yang disampaikan oleh Syaikh bin Utsaimin rahimahullahu Ta'ala tentang seorang ulama yang berhasil mengajak seseorang untuk shalat dengan cara yang lembut memberikan kita pelajaran berharga. Dalam kisah tersebut, sekelompok pemuda gagal dalam memberikan nasihat karena mereka menggunakan cara yang kasar. Namun, seorang syaikh berhasil melakukannya hanya dengan kata-kata yang lembut dan penuh pengertian. Ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan dan akhlak mulia sangat penting dalam mengajak seseorang menuju kebaikan.
Ketika kita beramar ma'ruf nahi mungkar, kita harus memperhatikan akhlak kita. Jangan sampai niat baik kita justru membuat orang lain semakin menjauh dari kebaikan. Lembut dalam berbicara dan bijaksana dalam bertindak adalah kunci keberhasilan dalam menyeru kepada kebaikan.
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai umat Islam. Rasulullah telah memberikan panduan yang jelas mengenai bagaimana kita harus bertindak ketika melihat kemungkaran, yaitu dengan tangan, lisan, atau hati, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Prinsipnya adalah kita harus selalu berusaha untuk mencegah kerusakan di sekitar kita, tetapi dengan cara yang tepat dan bijaksana.
Mencegah kemungkaran atau menjauhkan diri dan orang lain dari perbuatan mungkar merupakan langkah pertama dalam pencegahan kerusakan yang lebih besar yang ditimbulkan olehnya. Mencegah kemungkaran bukan hanya tentang bertindak tegas, tetapi juga tentang memahami waktu, tempat, dan kondisi orang yang akan kita ingatkan. Setiap usaha yang kita lakukan untuk mengubah kemungkaran, baik dengan tangan, lisan, atau hati, adalah bentuk kepedulian kita kepada sesama dan bukti keimanan kita kepada Allah.
Semoga kita semua senantiasa diberikan hikmah dan kemampuan untuk beramar ma'ruf nahi mungkar dengan cara yang bijaksana dan penuh kelembutan, agar dapat menjadi jalan bagi orang lain untuk mendapatkan hidayah dan meningkatkan kualitas keimanan mereka. Semoga Allah menerima amalan kita dan menjadikan kita sebagai orang-orang yang mampu menghadapi kemungkaran dengan cara yang terbaik.
Kitab Nahwu Wadhih - Fikar Store