Nahwu Wadhih - Dalam kehidupan, terutama di dunia akademis dan intelektual, kita sering dihadapkan dengan berbagai bentuk diskusi dan debat. Keduanya adalah bagian penting dari proses belajar, namun kita perlu memahami bahwa diskusi ilmiah memiliki aturan dan etika tersendiri. Diskusi ilmiah tidak semata tentang memenangkan argumen, melainkan mencari kebenaran dan pemahaman yang lebih baik. Mari kita renungkan beberapa poin penting yang bisa kita jadikan pedoman dalam menghadapi perbedaan pandangan dalam diskusi.
Sebagai orang yang senantiasa berusaha mencari kebenaran, kita harusnya bisa membedakan mana yang merupakan pernyataan ilmiah dan mana yang tidak. Pernyataan ilmiah adalah hasil dari pemikiran yang objektif, berdasarkan fakta dan data yang bisa diuji kebenarannya. Dalam hal ini, kita harus berpikir dengan tenang, menggunakan akal dan hati, serta mengedepankan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sebaliknya, pernyataan tidak ilmiah sering kali hanya berdasarkan opini pribadi yang liar tanpa landasan atau imajinasi yang tidak memiliki dasar yang kuat. Di sinilah kita diingatkan untuk berhati-hati. Jangan sampai kita terjebak pada argumen yang hanya berdasarkan perasaan atau spekulasi tanpa bukti yang jelas. Allah azza wa jalla mengingatkan kita dalam Al-Qur'an agar selalu berkata yang benar dan adil. Maka, mari kita upayakan setiap perkataan yang keluar dari mulut kita, terlebih dalam diskusi, adalah sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan.
Setiap kali kita terlibat dalam diskusi, khususnya yang bersifat ilmiah, menjaga ketenangan adalah kunci utama. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita agar berkata baik atau diam. Ketika kita mampu menjaga ketenangan, maka kita bisa berpikir lebih jernih, menilai suatu argumen dengan adil, dan tidak mudah terbawa emosi. Jika emosi mengambil alih, kemampuan kita untuk berpikir kritis dan objektif hanyalah angan-angan.
Sebagai muslim, kita diajarkan untuk selalu bersikap santun dalam berbicara dan berdebat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selalu memberikan contoh akhlak mulia dalam setiap perkataan dan tindakannya. Beliau senantiasa mengedepankan kelembutan dalam menyampaikan kebenaran, bahkan saat berdebat dengan orang yang berbeda pendapat. Itulah yang harus kita jadikan teladan dalam setiap diskusi. Ketika kita mampu mengendalikan emosi, komunikasi akan menjadi lebih efektif dan diskusi akan berjalan dengan produktif. Sebaliknya, jika kita mudah terbawa perasaan, perdebatan akan berubah menjadi ajang saling menjatuhkan, bukan lagi mencari kebenaran
Banyak di antara kita mungkin pernah merasakan emosi yang memuncak saat berdiskusi. Ini adalah hal yang wajar, namun perlu kita sadari bahwasanya emosi yang tidak terkendali bisa menjadi penghalang untuk mencapai kebenaran. Orang yang emosional cenderung mempertahankan pendapatnya hanya karena ego atau harga diri, bukan karena mencari kebenaran yang sejati.
Maka dari itu, mari kita periksa hati kita saat berdiskusi. Apakah kita berdiskusi untuk mencari kebenaran, atau hanya ingin memenangkan argumen? Sering kali emosi muncul karena kita merasa terancam atau tersinggung. Namun, sebagai muslim, kita harus senantiasa berlapang dada dan berusaha mendengarkan argumen orang lain dengan hati yang tenang. Dengan begitu, kita bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah tanpa dipengaruhi perasaan semata.
Perlu kita pahami bahwasanya ada perbedaan besar yang mendasar antara diskusi dan debat. Diskusi adalah sarana untuk mencari pemahaman bersama, sedangkan debat cenderung untuk menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Dalam Islam, kita diajarkan untuk selalu mencari kebaikan bersama, bukan untuk memenangkan perdebatan. Mari kita renungkan hadist mulia berikut,
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ. رواه ابوداود.
Dari Abu Umamah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Aku akan menjamin rumah di tepi surga bagi seseorang yang meninggalkan perdebatan meskipun benar. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi seseorang yang meninggalkan kedustaan meskipun bersifat gurau. Dan aku juga menjamin rumah di surga yang paling tinggi bagi seseorang yang berakhlak baik.” (H.R. Abu Daud)
Dari hadits ini, kita bisa belajar bahwa ada kemuliaan dalam sikap menghindari debat yang tidak perlu. Ketika kita lebih memilih diskusi yang penuh ketenangan dan saling menghormati, kita akan lebih mudah mencapai pemahaman yang lebih baik dan solusi yang lebih adil. Sebaliknya, debat yang penuh ego dan emosi hanya akan menghasilkan perpecahan.
Dalam menjalani hidup ini, kita harus selalu berupaya menjadi pribadi yang bijaksana dalam setiap diskusi. Pilihlah kata-kata yang baik, kendalikan emosi, dan fokuslah pada fakta serta bukti yang benar. Jika kita mendasarkan diri pada kebenaran dan akhlak mulia, diskusi apapun akan membawa kebaikan dan pencerahan, bukan perselisihan. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk menjadi hamba-Nya yang bijak dan berakhlak mulia dalam setiap langkah dan perkataan. Amin.
Kitab Nahwu Wadhih - Fikar Store