Nahwu Wadhih - Dalam dunia ilmu pengetahuan, bukti dan logika adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Bukti adalah fakta atau data yang dapat diobservasi, diukur, atau diuji secara empiris. Logika adalah aturan atau prinsip yang digunakan untuk menarik kesimpulan atau membuat argumen berdasarkan bukti. Keduanya memiliki peran penting dalam membangun pengetahuan yang valid dan reliabel.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menghadapi situasi di mana kita harus menerima fakta atau kebenaran yang tidak sesuai dengan logika kita. Misalnya, kita mungkin percaya pada hal-hal yang bersifat supranatural, mistis, atau metafisik, seperti Tuhan, roh, karma, reinkarnasi, dll. Atau kita mungkin mengikuti doktrin atau ideologi tertentu yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, seperti agama, politik, moral, dan lain-lain. Bagaimana kita bisa menyeimbangkan antara bukti dan logika dalam hal-hal seperti ini?, maka sebelumnya kita harus memahami hal berikut:
Sikap seseorang yang menerima kebenaran tetapi tidak sesuai akalnya atau tidak masuk akal baginya padahal bukti dan kebenaran sudah terpampang sangat jelas dan tidak dapat terbantahkan bisa bermacam-macam, tergantung pada faktor-faktor seperti latar belakang, motivasi, emosi, dan nilai-nilai yang dimilikinya. Berikut ini adalah beberapa kemungkinan sikap yang bisa ditunjukkan oleh orang tersebut:
Jadi, sikap yang paling bijak adalah sikap taat dan tunduk. Sikap ini menunjukkan bahwa seseorang menghargai dan mengikuti kebenaran yang berasal dari sumber yang lebih tinggi dan lebih berwenang daripada akal atau logikanya. Sikap ini juga menunjukkan bahwa seseorang memiliki iman, tawakal, dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Sikap ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa manusia harus berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti syariat-Nya tanpa meragukan atau menolaknya. Sikap ini juga akan membawa seseorang kepada kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dan inilah orang yang cerdas dan bijak.
Untuk dapat menerima kenyataan atau kebenaran seseorang harus belajar dan tidak malas untuk mencarinya walaupun harus memakan waktu yang lama dan perjalanan yang jauh. Namun ada salah satu cara adalah dengan menggunakan konsep rasionalitas dan keterbukaan. Rasionalitas adalah kemampuan untuk berpikir secara kritis, objektif, dan sistematis. Keterbukaan adalah sikap untuk menerima informasi baru yang relevan dan valid tanpa prasangka atau bias. Dengan menggunakan rasionalitas dan keterbukaan, kita dapat mengevaluasi bukti dan logika dari berbagai sumber dan perspektif, serta mengakui batas-batas pengetahuan kita.
Rasionalitas dan keterbukaan tidak berarti kita harus menolak segala sesuatu yang tidak masuk akal atau tidak memiliki bukti. Sebaliknya, kita harus bersedia untuk mengubah atau merevisi pandangan kita jika ada bukti atau logika baru yang lebih kuat dan meyakinkan. Kita juga harus menghormati pandangan orang lain yang berbeda dengan kita, selama mereka juga menggunakan rasionalitas dan keterbukaan dalam berpikir.
Dengan demikian, bukti dan logika adalah dua hal yang harus didahulukan dalam mencari pengetahuan, namun diantar bukti dan logika, kita harus mendahulukan bukti dan ilmu secara keseluruhan baru logika (masuk akal atau tidak) belakangan. Dan, kita juga harus menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak dapat dijelaskan oleh bukti dan logika saja. Untuk itu, kita perlu menggunakan rasionalitas dan keterbukaan sebagai alat untuk menilai dan memahami hal-hal tersebut. Dengan begitu, kita dapat memperkaya pengetahuan kita tanpa mengorbankan integritas intelektual kita. Dan jika suatu kebenaran bertentangan dengan logika kita dan keyakinan kita selama ini maka kita harus menerimanya dengan sepenuhnya dan mengakui kebenaran tersebut walaupun berat.
Begitu pula agama Islam, kita harus menerima dalil yang otentik dahulu dengan mengesampingkan logis atau tidaknya suatu perkara (dalam agama). Karena agama Islam adalah agama yang sempurna, jadi tidak perlu adanya penambahan, pengurangan ataupun bentuk revisi apapun dari manusia-manusia setelahnya yaitu zaman setelah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu anhu. Karena ganjarannya jika seorang muslim menolak dalil yang otentik Al-Quran maupun Hadist, maka bisa jatuh kepada kekufuran bahkan kekafiran.
Agama Islam bukanlah hasil dari pemikiran atau logika manusia, melainkan berdasarkan dalil-dalil yang bersumber dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an adalah kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam melalui malaikat Jibril. As-Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menjadi tuntunan bagi umatnya. Kedua sumber ini adalah mutawatir, yaitu disampaikan secara beruntun oleh banyak orang yang tidak mungkin berdusta.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah inilah yang menjadi landasan bagi umat Islam dalam memahami dan mengamalkan agama mereka. Tidak ada ruang bagi akal atau logika untuk menambah, mengurangi, atau mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Sebab, akal dan logika manusia memiliki keterbatasan, kelemahan, dan kekurangan. Akal dan logika manusia tidak mampu menjangkau hal-hal yang ghaib, seperti sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, hari akhirat, malaikat, jin, surga, neraka, dan lain sebagainya. Akal dan logika manusia juga sebagian besar terpengaruh oleh hawa nafsu, emosi, kebiasaan, budaya, lingkungan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu tidak boleh memaksakan logika atau menafsirkan dalil yang bukan berdasarkan para sahabat radhiallahu anhu karena pemahaman mereka (tentang Islam) adalah pemahaman yang paling benar.
Sekali lagi, agama Islam adalah agama yang bukan dibangun di atas logika, melainkan dibangun di atas dalil-dalil dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Umat Islam harus menerima dan mengamalkan apa yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tanpa meragukan atau menolaknya. Umat Islam juga harus menjauhi akal atau logika yang bertentangan dengan dalil-dalil yang shahih. Manusia bijak dan cerdas adalah manusia yang mau mengesampingkan “masuk akal atau tidak masuk akal” dalam pikirannya dengan menerima dan mengakui sebuah kebenaran terlebih dahulu. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita hidayah, taufik, dan istiqamah dalam mengikuti agama-Nya. Amin. kitab Nahwu Wadhih – Fikar Store