Arabiyah linnasyiin - Betapa indahnya melihat seseorang yang telah banyak berbuat baik untuk umat seperti membangun masjid, membantu fakir miskin, mengajarkan ilmu, namun tak ada sebaris pun dari amalnya yang ia banggakan di hadapan manusia. Tak terdengar ia mengungkit-ungkit jasanya, apalagi mempublikasikannya demi sanjungan. Hanya diam. Hanya Allah yang tahu.
Dalam diamnya, tersimpan bukti cinta dan pengharapan besar pada penerimaan Allah. Ia takut riya, takut amalnya tak sampai kepada-Nya, takut amalnya gugur hanya karena pujian dunia.
Inilah ciri hamba yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:
“Sesungguhnya jika Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, maka Dia akan mencabut dari hatinya perasaan mengingat-ingat amal baiknya, dan dari lisannya menyebut-nyebut amal itu. Lalu Dia sibukkan hamba itu dengan mengingat dosa-dosanya. Maka dosa-dosa itu selalu terbayang di pelupuk matanya, sampai akhirnya ia masuk surga. Karena sesungguhnya tanda suatu amal diterima adalah hilangnya rasa melihat amal itu dari hati dan menyebutnya dari lisan.”
(Ibnul Qayyim, Thariq al-Hijratain, hal. 169–172)
Ketika seseorang tidak sibuk memamerkan amalnya yang baik, bahkan justru lebih sibuk mengingat dosa-dosanya, maka itu tanda Allah menuntunnya menuju keselamatan dan kebaikan.
Padahal bisa saja ia mengangkat dirinya tinggi dengan amalnya, namun ia memilih rendah hati. Bisa saja ia mendapatkan pujian dan kedudukan, namun ia lebih takut jika amalnya gugur di hadapan Allah. Ia khawatir jika firman Allah ini menimpanya:
يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Mereka bermaksud riya (pamer) di hadapan manusia dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.”
(QS. An-Nisa’: 142)
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah menyebutkan, bahwa semakin diterima suatu amal, maka hamba akan semakin merasa tak pantas dan tak cukup amalnya untuk menebus dosa-dosanya. Bukan sebaliknya, semakin beramal justru merasa sudah banyak berkontribusi untuk agama.
Dan Rasulullah ﷺ pun telah mengingatkan bahwa orang yang ikhlas tidak akan bangga dan menyombongkan amalnya, sebagaimana sabdanya:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ
"Sesungguhnya seseorang bisa saja melakukan amalan ahli surga dalam pandangan manusia, padahal, ia termasuk penghuni neraka."
(Muttafaqun ‘Alaih)
Karena itu, jangan terperdaya oleh banyaknya amal yang tampak di luar. Allah melihat hati, bukan hasil publikasi.
Jika engkau berbuat baik, maka cukuplah Allah yang tahu. Jangan pedulikan ingin viral atau tidak. Jangan haus komentar atau pujian. Jangan berharap pengakuan, sebab cukup Allah yang mencatat dan menilai. Dan jika lengan kananmu bergerak, maka jangan sampai lengan kirimu tahu.
Biarlah orang lain mengira kita belum banyak berbuat. Itu lebih aman daripada seluruh manusia tahu amal kita, namun Allah membencinya.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ ۖ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu malam maupun siang, secara sembunyi maupun terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(QS. Al-Baqarah: 274)
Ketika Allah mencabut dari hati kita rasa bangga terhadap amal, itu adalah rahmat besar yang sangat mahal harganya. Karena banyak orang beramal, tapi akhirnya rusak hanya karena ingin dipuji.
Maka, jika hari ini kita masih bisa menangis karena dosa, masih merasa belum pantas masuk surga, maka itu pertanda Allah sedang menginginkan kebaikan besar pada kita.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan yang amalnya diterima, namun hatinya tetap tunduk dan takut.
Wallahu a’lam.
Kitab Bahasa Arab - Arabiyah linnasyiin – Fikar store