Nahwu Wadhih - Dalam menghadapi urusan agama dan kebenaran, tidak ada jalan lain bagi seorang muslim selain tunduk sepenuhnya. Tunduk kepada wahyu, bukan kepada akal semata, bukan pula kepada perasaan. Sebab, dua perkara yang sering menjerumuskan manusia dalam kesesatan adalah:
Mendahulukan akal atas wahyu, dan
Mendahulukan perasaan atas petunjuk syariat.
1. Bahaya Mendahulukan Akal
Akal manusia terbatas dan tidak selalu mampu menggapai hikmah semua ketentuan Allah. Oleh karena itu, dalam perkara agama, kita wajib mendahulukan syariat di atas akal.
Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه berkata:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ
"Kalau sekiranya agama itu berdasarkan akal (semata), tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya."
(HR. Abu Daud no. 162, An-Nasa'i, dan Ahmad)
Kata Imam Ash-Shan'ani رحمه الله dalam Subulus Salam:
"Secara logika, lebih pantas bagian bawah yang diusap karena bagian bawah langsung bersentuhan dengan tanah. Namun, syariat mengajarkan mengusap bagian atas, bukan bawah."
Maka dari itu, dalam perkara agama, bukan akal yang menjadi hakim, tetapi wahyu. Dan barangsiapa berusaha mendahulukan akal di atas wahyu maka ia terjangkit penyakit kesombongan.
2. Bahaya Mendahulukan Perasaan
Agama bukanlah berdiri di atas perasaan semata. Karena kalau agama hanya berdasar pada emosi, maka semua ahli bid’ah akan dianggap benar, sebab banyak dari mereka membangun keyakinannya di atas perasaan cinta atau semangat tanpa ilmu.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله berkata:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالْعَاطِفَةِ لَكَانَ جَمِيعُ أَهْلِ الْبِدَعِ عَلَى حَقٍّ
"Kalau sekiranya agama itu berdasarkan perasaan, pastilah semua ahli bid'ah berada di atas kebenaran."
Agama berdiri di atas wahyu, bukan sekadar rasa.
Allah Ta'ala memperingatkan:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu."
(QS. Al-Ma'idah: 48)
Mengikuti hawa nafsu adalah sebab utama penyimpangan dari kebenaran.
3. Kewajiban Kita: Tunduk dan Menerima
Tugas kita sebagai hamba adalah berserah diri kepada syariat Allah dan sunnah Rasulullah ﷺ, tanpa membantah dengan logika atau perasaan pribadi.
Imam Az-Zuhri رحمه الله berkata:
مِنَ اللهِ الرِّسَالَةُ وَعَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَلَاغُ وَعَلَيْنَا التَّسْلِيمُ
"Risalah itu berasal dari Allah, kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan, dan kewajiban kita adalah tunduk (menerima)."
(Kholqu Af'alil 'Ibad, hlm. 76)
Maka, janganlah kita mendahulukan akal dan hawa nafsu di hadapan wahyu. Karena kebenaran datang dari Allah, dan keselamatan hanya ada pada tunduk kepada-Nya.
Nasihat kali ini mengingatkan kita semua:
Dalam perkara agama dan kebenaran, tugas kita hanyalah tunduk.
Tundukkan akal, tundukkan perasaan, dan patuhlah kepada wahyu.
Semoga Allah menjaga kita semua di atas jalan yang lurus.
Toko grosir kitab online - Nahwu Wadhih - Fikar Store