Fikar store - Sikap “sami’na wa atha’na” atau “kami mendengar dan kami taat” adalah sikap yang harus dimiliki oleh seorang muslim ketika mendapatkan hujjah atau dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sikap ini menunjukkan keimanan, ketaatan, dan keridhaan terhadap hukum Allah dan rasul-Nya. Sikap ini juga merupakan ciri khas dari para sahabat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang selalu siap menerima dan menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya tanpa ragu-ragu, tanpa menunda-nunda, dan tanpa mencari-cari alasan. Allah ta’ala telah menyatakan ciri khas orang beriman dalam Al-Quran:
اِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذَا دُعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ اَنْ يَّقُوْلُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَاۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Sesungguhnya yang merupakan ucapan orang-orang mukmin, apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar ia memutuskan (perkara) di antara mereka, hanyalah, “Kami mendengar dan kami taat.” Mereka itulah orang-orang beruntung”. (Qs. An-Nur: 51)
Memang, pada dasarnya sikap ini tidaklah mudah untuk diwujudkan, terutama di zaman sekarang yang penuh dengan fitnah ini, di mana banyak godaan hawa nafsu dan syahwat yang bisa menghalangi kita untuk bersikap “sami’na wa atha’na”. Banyak diantara kaum muslimin yang tanpa mereka sadari enggan atau menolak untuk berhukum kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan jalan pemahaman para sahabat, jika hukum tersebut bertentangan dengan keinginan atau hawa nafsu mereka. Banyak orang yang mencari-cari pembenaran atau solusi untuk menghindari hukum Allah dan rasul-Nya dengan menafsirkannya agar sesuai hawa nafsunya tanpa mengikuti pemahaman para sahabat, jika hukum tersebut dirasa memberatkan, menyulitkan atau tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka. Banyak orang yang meninggalkan dan bahkan menolah hukum Allah dan rasul-Nya, jika hukum tersebut dirasa tidak sesuai dengan nafsu mereka atau tidak sesuai dengan akal mereka.
Padahal, sikap seperti ini adalah sikap yang berbahaya, karena bisa menjerumuskan kita ke dalam kemunafikan, kesesatan, bahkan kekufuran. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
“Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata”. (QS. Al-Ahzab: 36)
Karena merupakan sebuah kezaliman yang nyata, dan inilah ciri khas orang munafik, yaitu orang yang meragukan apa yang telah Allah tetapkan melalui Rasul-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
اَفِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ اَمِ ارْتَابُوْٓا اَمْ يَخَافُوْنَ اَنْ يَّحِيْفَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُوْلُهٗ ۗبَلْ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ࣖ
Apakah (sikap mereka yang demikian itu karena) dalam hati mereka ada penyakit atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berbuat zalim kepada mereka? Sebaliknya, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Qs. An-Nur: 50)
Salah satu sebab orang-orang munafik tidak mau tunduk kepada hukum-hukum Allah adalah karena terdapat kekufuran dan kemunafikkan yang tersembunyi di dalam hati mereka. Salah satu sifat mereka adalah tidak yakin dengan ketetapan Allah dan rasul-Nya. Mereka juga takut bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memperlakukan mereka dengan tidak adil.
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bisa jadi, kalian membenci sesuatu sementara itu baik bagi kalian, dan bisa jadi, kalian mencintai sesuatu sementara itu buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Sejatinya, syariat, ketetapan yang telah Allah subhanahu wa ta’ala melalui rasul-Nya tetapkan bukanlah perkara sulit dan menyulitkan. Hanya dari hawa nafsu dan bisikan setan yang menjadikan seseorang merasa sulit dan beranggapannya tidak masuk akal. Ada sebuah contoh sikap sami’na wa atha’na dari sebuah riwayat:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ يَوْمَ خَيْبَرَ : ❲ لَأُعْطِيَنَّ هَذِهِ الرَّايَةَ رَجُلًا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ ❳ ، قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : مَا أَحْبَبْتُ الْإِمَارَةَ إِلَّا يَوْمَئِذٍ ، فَتَسَاوَرْتُ لَهَا ؛ رَجَاءَ أَنْ أُدْعَى لَهَا ؛ فَدَعَا رَسُولُ اللهِ ﷺ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، فَأَعْطَاهُ إِيَّاهَا ، وَقَالَ : ❲ اِمْشِ ، وَلَا تَلْتَفِتْ حَتَّى يَفْتَحَ اللهُ عَلَيْكَ ❳ ، فَسَارَ عَلِيُّ شَيْئًا ، ثُمَّ وَقَفَ وَلَمْ يَلْتَفِتْ فَصَرَخَ : يَا رَسُولَ اللهِ! عَلَى مَاذَا أُقَاتِلُ النَّاسَ؟ قَالَ : ❲ قَاتِلْهُمْ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ فَقَدْ مَنَعُوا مِنْكَ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ ❳ . ❊ رَوَاهُ مُسْلِمٌ [٢٤٠٥].
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pada saat terjadi perang Khaibar, "Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, yang Allah akan memberikan kemenangan kepadanya." Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu berkata, "Tidak pernah aku berharap memegang kepemimpinan kecuali pada hari itu saja. Kemudian, aku segera berdiri seraya menampakkan diri dengan harapan akulah yang dipanggil oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk memegangnya." Lalu Beliau memanggil Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dan menyerahkan panji itu kepadanya, seraya berpesan, "Berangkatlah dan jangan menoleh hingga Allah memberikan kemenangan kepadamu." Ali pun berjalan beberapa langkah, kemudian berhenti tetapi tidak menoleh, lantas dia berteriak, "Wahai Rasulullah, atas dasar apa aku harus memerangi orang-orang itu?" Beliau menjawab, "Perangilah mereka hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Apabila mereka telah melakukan hal itu atau bersyahadat, berarti mereka telah menyelamatkan darah dan harta mereka darimu kecuali dengan haknya, dan perhitungannya terserah kepada Allah." (HR. Muslim)
Dari hadist diatas, pesan Nabi shalallahu alaihi wa sallam jelas “ jangan menoleh” kepada Ali radhiallahu anhu. Dan sikap Ali Radhiallahu anhu melaksanakan perinta Nabi shalallahu alaihi wa sallam dengan tidak menoleh tanpa banyak bertanya. Inilah sikal sejati seorang yang beriman.
Demikian, sikap “sami’na wa atha’na” ketika didatangkan hujjah kepadanya, adalah dengan cara-cara berikut:
Pertama, kita harus mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan benar, dengan mengikuti pemahaman para ulama yang ahli dalam ilmu-ilmu syar’i, seperti tafsir, hadits, fiqih, ushul, dan lain-lain. Kita tidak boleh mengambil hukum dari sumber-sumber yang tidak jelas, tidak terpercaya, atau tidak sesuai dengan manhaj salaf. Kita juga tidak boleh mengandalkan akal, logika, atau pendapat kita sendiri tanpa dalil yang shahih. Dan cara ini harus dilandasi dengan pemahaman shalafusshalih.
Kedua, kita harus menerima hukum Allah dan rasul-Nya dengan hati yang ikhlas, tanpa merasa terpaksa, tidak suka, atau tidak senang. Kita harus meyakini bahwa hukum Allah dan rasul-Nya adalah yang terbaik, yang paling adil, dan yang paling sesuai dengan kepentingan kita di dunia dan akhirat. Kita harus mengutamakan ridha Allah dan rasul-Nya daripada ridha manusia atau diri kita sendiri.
Ketiga, kita harus menjalankan hukum Allah dan rasul-Nya dengan amal yang saleh, tanpa menunda-nunda, mengurangi, atau menambah-nambah. Kita harus berusaha untuk melaksanakan semua kewajiban, menjauhi semua larangan, dan mengamalkan semua sunnah, sesuai dengan kemampuan dan kesempatan kita. Kita juga harus mengajak dan menasehati orang lain untuk berhukum kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan hikmah, maw’izhah hasanah, dan mujadalah bil-lati hiya ahsan.
Keempat, kita harus membela hukum Allah dan rasul-Nya dengan jiwa dan raga, tanpa takut, ragu, atau mundur. Kita harus siap menghadapi segala tantangan, cobaan, dan fitnah yang datang dari musuh-musuh Islam, baik dari dalam maupun dari luar. Kita harus bersabar, istiqamah, dan berjuang di jalan Allah, dengan mengharapkan pahala dan ridha-Nya.
Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk bersikap “sami’na wa atha’na” ketika didatangkan hujjah kepada kita, dan menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang beriman, bertakwa, dan beramal shaleh. Aamiin.
Fikar store – Grosir kitab online