Ilmu Balaghah - Sebagai penyandang gelar pemeluk agama Islam terbesar seantero dunia, Indonesia tampaknya dewasa ini seperti peribahasa ‘belum beranak sudah dipinang’. Banyak di antara kita yang seakan puas dengan predikat ini, namun demikian terlalu dini untuk merayakannya padahal masih banyak aib di sana-sini. Salah satunya yang diuraikan oleh mantan Menteri Agama Republik Indonesia (Menag), Fachrul Razi pada 2020 silam bahwa ternyata persentase buta aksara Al-Qur’an di Indonesia mencapai 65% dari total populasi muslim Indonesia.
Berdasarkan realitas di atas, tentu akan sulit melepaskan stereotip masih banyaknya umat Islam Indonesia yang alih-alih tidak memahami, bahkan tidak mengetahui apa sebenarnya kandungan dalam sumber utama hukum Islam, yakni Al-Qur’an. Padahal, berbicara masalah memahami Al-Qur’an, pada dasarnya terjemahannya saja tiadalah cukup, perlu Ilmu Balaghah yang mendampinginya. Sehingga dengannya, tidak bisa hanya mengandalkan Kamus Bahasa Arab atau bahkan Google Translate semata.
Banyak contoh diksi Al-Qur’an yang tidak bisa dipahami secara eksplisit semata. Semisal pada Surat Al-Qāri’ah ayat 8 dan 9:
وَاَمَّا مَنۡ خَفَّتۡ مَوَازِيۡنُهٗ فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ
Artinya:
“Dan adapun orang yang ringan timbangannya, maka ‘ibunya’ adalah (neraka) Hawiyah”
Begitu pula yang tercantum dalam Al-Baqarah ayat 19:
أَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ فِيهِ ظُلُمَٰتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَٰبِعَهُمْ فِىٓ ءَاذَانِهِم مِّنَ ٱلصَّوَٰعِقِ حَذَرَ ٱلْمَوْتِ ۚ وَٱللَّهُ مُحِيطٌۢ بِٱلْكَٰفِرِينَ
Artinya:
“Atau seperti hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh, dan kilat. Mereka menyumbat telinganya dengan ‘jari-jarinya’ karena petir sebab takut akan kematian. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir”.
Istilah “ummun” memang dalam Bahasa Arab memiliki arti sebagai ibu, namun jika dimaknai hanya sebatas terjemahannya, tentu apa yang diisyaratkan pada ayat di atas amatlah membingungkan. Berdasarkan pembahasan dalam cabang ilmu bayan pada balaghah, yakni majaz, kata ‘ibu’ yang dimaksudan adalah tempat kembali.
Begitu pula pada contoh yang kedua, pada kata “’aṣābi’ahum” yang berarti jari-jari dengan konteks menutup (menyumbat) telinga. Hal ini tentu sulit dipahami secara logika, sebab bagaimana mungkin lebih dari dua jari – jamak dalam Bahasa Arab, bahkan hanya dengan satu buah jari saja kuping sudah dapat tertutupi. Perihal inilah ilmu balaghah menjelaskan adanya majaz mursal, yang mana penggunaan kata yang tidak semestinya namun untuk dipahami.
Menurut Ali al-Jarim dan Mushtofa Amin dalam “balaghah wadhihah”, Ilmu Balaghah adalah usaha untuk memberikan makna estetis dengan ungkapan yang tepat dapat mempengaruhi jiwa, relevansi setiap kalimat dengan konteks dialog, dan memperhatikannya kesesuaian dengan subjek sebagai lawan bicara. Seseorang yang tau dan bisa menerjemahkan Bahasa Arab saja tidaklah cukup, namun juga perlu Ilmu Balaghah.
Ilmu Balaghah dalam lintasan sejarah memang menunjukkan bahwa kemunculannya berada bahkan sebelum Al-Qur’an diturunkan. Ilmu Balaghah hadir sebagai sistematika pembahasan yang memang digandrungi masyarakat Arab pra-Islam dalam upaya menunjukkan tingkat keadaban mereka. Adapun saat Al-Qur’an telah hadir di antara orang-orang Arab, sebagaimana diuraikan Faisal Mubarak (2014) Al-Qur’an menjadi kajian dengan perspektif ilmu balaghah untuk menunjukkan kemukjizatannya. Al-Qur’an dikaji sebagai kitab suci yang paling indah dari segi tata bahasanya.
Berdasarkan pentingnya mempelajari ilmu balaghah dalam rangka memahami dan lebih men-tadabburi kemukjizatan Al-Qur’an, tentu saja mempelajarinya pun juga wajib. Sebagaimana kaidah uṣūliyyah juga menyebutkan “mā lā yatimmu al-wājib illa bihi fahuwa al-wājib” (sesuatu yang wajib, maka sarananya juga menjadi wajib). Buku Al-Balāghah al-Wāḍihah sebagai buku ilmu balaghah dasar yang baik, tentu akan cocok bagi kita yang masih pemula dalam mempelajari Bahasa Arab. Dapatkan segera bukunya dengan mengklik tautan di bawah ini alfikar.com .