Nahwu Wadhih - Agama Islam adalah agama yang sempurna dan universal, yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Agama Islam mengajarkan kepada manusia tentang tauhid, yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rububiyah (kekuasaan), uluhiyah (penghambaan), dan asma wa sifat (nama dan sifat). Agama Islam juga mengajarkan tentang syariat, yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan sesama manusia, dan dengan alam.
Agama Islam bukanlah hasil dari pemikiran atau logika manusia, melainkan berdasarkan dalil-dalil yang bersumber dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an adalah kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam melalui malaikat Jibril. As-Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menjadi tuntunan bagi umatnya. Kedua sumber ini adalah mutawatir, yaitu disampaikan secara beruntun oleh banyak orang yang tidak mungkin berdusta.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah inilah yang menjadi landasan bagi umat Islam dalam memahami dan mengamalkan agama mereka. Tidak ada ruang bagi akal atau logika untuk menambah, mengurangi, atau mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Sebab, akal dan logika manusia memiliki keterbatasan, kelemahan, dan kekurangan. Akal dan logika manusia tidak mampu menjangkau hal-hal yang ghaib, seperti sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, hari akhirat, malaikat, jin, surga, neraka, dll. Akal dan logika manusia juga bisa terpengaruh oleh hawa nafsu, emosi, kebiasaan, budaya, lingkungan, dll.
Oleh karena itu, umat Islam harus bersikap tunduk dan patuh kepada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka harus beriman kepada apa yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tanpa meragukan atau menolaknya. Mereka harus menjauhi sikap taklid buta (mengikuti tanpa ilmu), taqlid a’ma (mengikuti tanpa dalil), atau ta’thil (meniadakan sifat-sifat Allah). Mereka harus berpegang teguh kepada manhaj salafus shalih (metodologi para sahabat dan generasi terbaik umat Islam) dalam memahami dan mengamalkan agama.
Salah satu contoh pentingnya berpegang kepada dalil adalah dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Umat Islam wajib menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka tidak boleh menambah atau mengurangi nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan akal atau logika mereka. Mereka juga tidak boleh menyerupakan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya atau menafikan makna-maknanya.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam:
إِسْلَامُ بُنِيَ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat laa ilaaha illallah dan Muhammadan Rasulullah, menegakkan salat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)
Dalam hadits ini, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan syahadat sebagai rukun pertama dan terpenting dalam Islam. Syahadat adalah pengakuan dan pengesahan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Syahadat ini mengandung makna tauhid, yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat.
Rububiyah adalah mengakui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabb (Pencipta, Pemelihara, Pengatur) segala sesuatu. Uluhiyah adalah mengabdi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ibadah-ibadah yang Dia syariatkan. Asma wa sifat adalah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Dia jelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam masalah asma wa sifat, umat Islam harus berpegang kepada dalil-dalil yang menjelaskan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka tidak boleh menggunakan akal atau logika mereka untuk menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak ada dalilnya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَلَكِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُ عَلٰى ظُهُورِ خُفٍّ
“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Namun aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya).” (HR. Abu Daud no. 162)
Hadits ini menunjukkan bahwa agama bukanlah berdasarkan logika manusia, melainkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam masalah wudhu, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan untuk mengusap bagian atas khuf (sepatu) sebagai ganti dari mencuci kaki. Hal ini mungkin tidak masuk akal bagi sebagian orang, karena bagian bawah khuf (sepatu) lebih kotor dan lebih membutuhkan pencucian daripada bagian atasnya. Namun, karena ini adalah perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, maka umat Islam harus menerimanya tanpa meragukan atau menolaknya.
Demikian pula dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, umat Islam harus menerima apa yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tanpa meragukan atau menolaknya. Mereka tidak boleh menggunakan akal atau logika mereka untuk menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak ada dalilnya. Kitapun tidak boleh memikirkan dzat Allah karena logika manusia tidak akan pernah sampai. Akan tetapi yang harus kita pikirkan adalah kewajiban kita seorang hamba dan nikmat yang diberiaknnya.
Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sesuatu yang tidak dapat dimengerti oleh akal atau logika manusia. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berspekulasi atau berandai-andai tentang dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka hanya boleh menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah Dia jelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, umat Islam harus mengikuti prinsip-prinsip berikut:
Dengan cara ini, umat Islam dapat memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar dan sesuai dengan dalil-dalil yang shahih. Mereka juga dapat menghindari kesesatan dan penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian kelompok yang menggunakan akal atau logika mereka untuk menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak ada dalilnya.
Kesimpulan
Agama Islam adalah agama yang bukan dibangun di atas logika, melainkan dibangun di atas dalil-dalil dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Umat Islam harus menerima dan mengamalkan apa yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tanpa meragukan atau menolaknya. Umat Islam juga harus menjauhi akal atau logika yang bertentangan dengan dalil-dalil yang shahih.
Salah satu hal penting yang harus diterima dan diamalkan oleh umat Islam adalah nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Umat Islam harus menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Umat Islam juga harus menghindari kesesatan dan penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian kelompok yang menggunakan akal atau logika mereka untuk menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa dalil.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita hidayah, taufik, dan istiqamah dalam mengikuti agama-Nya. Amin. Semoga artikel ini bermanfaat kita semua. kitab Nahwu Wadhih – Fikar Store